Revolusi Industri Kamera

 


Industri fotografi adalah medan pertempuran penuh drama, dimana pemain dan pemenang terus berganti-ganti. Dimulai dari Kodak yang menemukan fotografi portable, lalu DSLR dari Nikon dan Canon mengambil alih, disusul gebrakan Sony dengan teknologi mirrorless. Hingga akhirnya Apple dan Google merebut panggung utama dengan fotografi komputasional. Ini bukan sekedar cerita tentang merek-merek besar, tapi cerminan nyata bagaimana industri bisa berubah drastis dalam sekejap? Bagaimana kita bisa bertahan atau bahkan menang di tengah persaingan sengit dan perubahan yang tidak terduga seperti itu?


Bagian I | Kodak Sang Pelopor

Di zaman sekarang kita bisa memotret kapanpun dan dimanapun dengan memakai smartphone, mau berapa kalipun jepretannya, hasilnya bisa langsung kelihatan, praktis dan nggak ribet sama sekali. Iya kan? Tapi coba bayangkan betapa repotnya memotret di zaman dulu. Kameranya aja gede banget, berat dan susah dibawa-bawa. Hasil jepretannya harus diproses dulu di sebuah ruang gelap dan dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian khusus. Semua itu berubah ketika pada tahun 1988. George Iasman memperkenalkan kamera kodak Esmen membawa perubahan besar melalui karya ciptaannya, yaitu kamera dengan gulungan film untuk seratus foto. Dengan begitu, slogan Iconic Kodak saat itu memang terasa pas, yaitu anda tinggal jepret kami yang mengurus sisanya.

Kamera produk pertama isment memang sangat fenomenal karena membuat fotografi bukan lagi aktivitas eksklusif. Orang awam pun bisa memotret sehingga fotografi kemudian menjadi bagian dari keseharian aktivitas masyarakat yang semakin aktif bermobilitas untuk berbagai keperluan.

Berikutnya pada tahun 1900, Kodak menciptakan kamera Browni yang dirancang khusus untuk anak-anak dan keluarga sehingga gampang dibawa kemana-mana. Dengan harga hanya 1 US dollar, banyak orang bisa memilikinya sehingga sejak itu fotografi menjadi semakin personal. Siapa aja bisa mengabadikan momen sehari-hari tanpa perlu memiliki keahlian khusus. Sampai beberapa dekade berikutnya, dunia fotografi relatif tidak banyak berubah dan Kodak sukses menguasai pasar fotografi. Analog.

Sampai tibalah di tahun 1995 ketika seorang insinyur koduk bernama Steven Season menciptakan kamera digital yang pertama. Inovasi ini merevolusi teknologi fotografi karena dengan tekologi digital, pengambilan gambar tidak lagi memerlukan fielp. Sayangnya, manajemen Kodak tidak melihat teknologi digital sebagai peluang, melainkan sebagai ancaman. Mereka memandang bisnis film foto itu jauh lebih menguntungkan daripada berinvestasi pada teknologi baru yang masa depannya belum pasti.

Bagian II | Dunia Bergeser Ke Digital

Sampai pada akhir tahun 1980 an Kodak terus sibuk mempertahankan bisnis filmnya dan memimpin pasar. Sementara itu, Nikon mulai mencermati teknologi digital yang mulai menunjukkan potensinya. Nikon ingin mengintegrasikan teknologi digital ke dalam teknologi kamera yang mereka yakini sebagai masa depan dari dunia fotografi. Oleh karena itu, kemudian mereka melakukan riset untuk merancang dan mengembangkan kamera DSLR. Apalagi di waktu itu ada kebutuhan yang semakin besar terhadap konten-konten visual yang bisa tersaji dengan cepat dan mudah. Kebutuhan itu terdorong oleh perkembangan industri majalah, periklanan, televisi, dan juga internet.

Maka permintaan kamera digital melonjak dan memaksa Nikon serta Canon mengalihkan fokus bisnisnya dari kamera film ke kamera digital. Pada tahun 1999. Nikon meluncurkan kamera di SLR pertama yaitu Nikon di O yang berhasil dikembangkan sepenuhnya oleh mereka sendiri. Nikon de One dilengkapi sensor CCD 2,7 megapikse yang menghasilkan gambar berkualitas tinggi dan memiliki kecepatan ranah atau shutter speed yang sangat cepat hingga mencapai 1/16000 detik.

Selain itu desanya mirip kamera film sehingga para fotografer tidak harus belajar khusus untuk menggunakannya. Setahun kemudian. Canon mengikuti jejak Nikon, Mereka mencurkan ios di set sebagai kamera di SLR pertama yang dirancang dan diproduksi sepenuhnya oleh Canon. Kamera ini tidak lagi memakai tekologi sensor yang sebelumnya dipasok oleh Kodak, melainkan menggunakan sensor CMOS 3,1 megapixel yang lebih kecil dan juga lebih ringan dibandingkan Nikon di one.

Kelebihan lainnya ios D Fat mampu menyuguhkan kinerjato fokus yang sangat unggul sehingga cepat populer di kalangan fotografer profesional maupun amatir.

Sebetulnya di masa-masa itu Kodak tidak sepenuhnya absen di pasar digital. Mereka pun memproduksi dan memasarkan beberapa kamera digital seperti DC Empatte pada tahun 1995. Sayangnya, mereka tetap lebih fokus pada bisnis film sehingga lamban berinovasi dan tidak segera beralih ke teknologi digital. Manajemen kodak khawatir kalau mereka beralih sepenuhnya ke produksi kamera digital, maka itu akan merusak penjualan film yang sangat menguntungkan. Akibatnya, ketika NIKON dan Canon sudah menguasai pasar kamera digital Kodak tenggelam sambil memeluk nosgianya sebagai produsen yang pernah merajai industri fotografi.

Bagian III | Serangan Kamera Mirrorless

Waktu terus bergulir menyuguhkan perubahan demi perubahan zaman, termasuk perubahan di industri fotografi. Jadi, setelah era DSLR, industri fotografi mengalami diskusi besar dengan munculnya teknologi mirrorless yang dipelopori oleh Sony. Langkah perdana Sony di pasar kamera digital sebenarnya sudah dimulai dengan seri Cybershot pada akhir tahun 1990 an. Namun, transformasi terbesar baru terjadi pada tahun 2010, ketika mereka memuculkan seri NIX Next yang menjadi awal perjalanan Sony mengembangkan kamera barrolless.

Pada tahun 2013 Sony merilis Alpha 7 yang begitu fenomenal karena menawarkan kualitas gambar setara di DSLR full frame, tapi bodynya jauh lebih ringkas dan ringan. Enggak heran inovasi ini segera menarik perhatian banyak fotografer yang menginginkan kualitas tinggi sehingga Alpha 7 menjadi kamera mirroros full frame pertama yang sukses besar di pasara. Sukses Alpha 7 dan antara lain ditopang oleh penggunaan sensor Xmore CMOS yang dikembangkan sendiri oleh Sony. Sensor ini mampu memberikan kualitas gambar superior dan mendukung perekaman video 4K, sesuatu yang menjadi kebutuhan penting bagi banyak fotografer dan videografer.

Semula memang banyak yang skeptis terhadap kamera mirreless karena dianggap teknologinya tidak secanggih di DSLA. Untungnya. Sony tetap fokus pada inovasi sambil terus mengembangkan ekosistem lensa e-moun yang memungkinkan pengguna bisa menggonta- ganti lensa dengan mudah.

Akhirnya Alpha Seven sukses di pasar dan mengubah persepsi pasar. Bahkan Canon dan Nikon jadi dipaksa untuk cepat-cepat mengembangkan teknologi mirraless mereka sendiri. Di tahun 2020 Sony berhasil menggeser dominasi DSLR dengan menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar global mirrorless. Antara tahun 2018 sampai 2023, pasar kamera bertransformasi. Seiring meningkatnya pemasaran kamera mirrorless, pangsa pasar DSLR menurun dari penguasaannya yang pernah mencapai 80 persen. Bahkan pada tahun 2023, pangsa pasar kamera miroles sudah bisa melampaui dsla.

Kalau kita cermati keberhasilan Sony menguasai pasar kamera mirrorless merupakan kisah tersendiri. Sebab bagaimana sebuah perusahaan elektronik yang fokus pada teknologi konsumen dan tidak memiliki sejarah panjang dalam fotografi bisa bersaing dan mengalahkan Canon serta Nikon yang piawai di industri fotografi.

Rahasianya ternyata ada pada kemampuan Sony dalam memanfaatkan teknologi digital yang mereka kuasai sambil mengembangkan sensor. Semua itu diawali ketika Sony mengakuisisi Konika Minolta pada tahun 2006 yang membuat mereka mulai bisa berpijak di pasar kamera. Lalu mereka mengembangkan sensor eksmore CMOS sebagai tulang punggungnya. Nah, dengan keunggulan tekologi sensornya itulah Sony bisa meluncurkan kamera dengan kualitas gambar superior dan fitur-fitur canggih yang sulit ditandingi.

Ketika pasar kamera digital telah perlahan-lahan beralih ke mirrolless, sebenarnya Canon dan Nikon mulai gampang. Namun, mereka ragu untuk ikut-ikutan masuk ke pasar mirrorless karena khawatir langkah itu akan mengganggu penjualan DSLR yang sudah mapan dan menguntungkan. Akan tetapi, ketika angka penjualan DSLR terus melorot berbarengan dengan meningkatkan penjualan mirrelesss, ya mau nggak mau mereka harus segera beradaptasi.

Canon kemudian berlari mengejar ketertinggalannya dengan meluncurkan seri EOS A pada tahun 2018. Ini adalah upaya serius pertama mereka dalam pasar mirralles full Frame. Mereka juga membangun ekosistem lensa RF yang kuat untuk mendukungnya. Eos R dan EOS R 5 segera menarik perhatian karena dilengkapi teknologi dual pixel autofocus.

Nikon tentu saja juga tidak tinggal diam dan segera meluncurkan seri Z enam dan Z tujuh dengan fokus pada kualitas optik superior. Melalui zmount baru. Nikor menawarkan lensa yang memiliki bukaan lebih besar dan teknologi yang menjanjikan kualitas gambar yang lebih baik. Namun mereka masih menghadapi tantangan pengembangan lensa dan kinerja Auto Focus, yang mana disitu Sony sudah lebih unggul.

Pada tahun 2023 Canon berhasil mendominasi pasar global dengan menguasai empat puluh enam koma lima persen total penjualan kamera digital. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari penguasaan Sony yang berada di posisi kedua. Mereka memunculkan produk di berbagai segmen pasar, dari kamera profesional hingga model yang lebih terjangkau. Mereka juga terus memperkuat ekosistem lensa RF. Jadi, hebatnya Canon, meskipun terlambat masuk ke pasar mirrorless, nyatanya mereka mampu mengejar ketertinggalan dan bahkan kemudian unggul.

Bagian IV | Disrupsi Fotografi Komputasional

Ketika para pemain industri kamera digital saling berjibaku menguasai pasar, muncul pemain baru yang membawa perubahan besar dalam dunia fotografi. Apple melalui iphone hadir dengan teknologi fotografi komputasional yang menggabungkan perangkat keras kamera dengan kecerdasan buatan yang bisa menghasilkan foto berkualitas tinggi dengan sangat-sangat mudah. Fitur seperti Smart HDR dan Night Mode memungkinkan pengguna mengambil foto yang hasilnya luar biasa, bahkan dalam kondisi cahaya yang menantang. Fotografik komputional mampu membantu siapapun membuat foto bagus dengan hanya menggunakan smartphonenya. Sekarang, iphone serta smartphone lain sudah menjadi alat utama bagi banyak orang untuk mendokumentasikan kegiatan keseharian. Kita tidak perlu lagi memakai kamera profesional dengan keterampilan teknisnya.

Apalagi ketika content creation terus berkembang menjadi fenomena global melalui palaform media sosial seperti Instagram, youtube, dan tiktok. Banyak orang lebih memilih menggunakan smartphone sebagai alat utama untuk fotografi dan videografi.

Ini didukung dengan kemunculan smartphone modern yang menyuguhkan kamera lebih canggih. Pada tahun 2022, misalnya. Google Pixelve menghadirkan beberapa kamera bawaan, termasuk kamera belakang 50 megapixel dan kamera ultra wide 12 megapixel. Bandingkan dengan Canon EOS 850 D yang hanya memiliki sensor 24,1 megapixel.

Inilah realita yang berdampak sangat luas pada dunia fotografi. Cannon, Nikron, dan Sony akhirnya harus menerima kenyataan bahwa smartphone telah mengambil alih sebagian besar dunia fotografi Konsumen. Mereka didorong untuk lebih fokus hanya pada segmen kamera profesional. Realitas pasar pun memberikan gambaran yang sama ketika angka penjualan kamera digital hanya mencapai 8,4 juta unit pada tahun 2021, jumlah itu sudah menciut sekali jika dibandingkan dengan puncak penjualannya pada tahun 2009 dengan 121,2 juta unit.

Meskipun begitu, smartphone mungkin belum bisa menggantikan kamera DSLR sepenuhnya karena masih ada aspek-aspek yang membuat kamera DSLR maupun mirrolless tetap unggul, seperti dalam hal kualitas gambar di kondisi cahayar rendah, efek bokeh yang lebih meyakinkan, dan juga fotografi makro ETM.

Bagian V | Tiga Pelajaran Penting

Berikut ini adalah 3 pelajaran yang bisa kita petik dari kisah evolusi, teknologi dan persaingan di industri fotografi. Pertama, adaptasi Itu bukan pilihan, tapi keharusan. Cerita Kodak yang dulunya raja di industri fotografi tapi akhirnya tenggelam karena gagal beradaptasi dengan tekologi digital, mengajarkan kita bahwa perubahan itu pasti. Inovasi bisa datang dari mana saja, dan kalau kita tidak cepat merespons, bisa-bisa kita tertinggal di belakang. Jadi siapapun kita, kalau ingin bisnis kita bertahan lama, wajib hukumnya untuk peka terhadap perubahan dan berani mengambil langkah baru. Walaupun mungkin awalnya terlihat menakutkan.

Kedua inovasi berkelanjutan adalah kunci untuk bertahan. Lihat aja yang Sony lakukan dia berani untuk terjun ke pasar kamera dengan teknologi mirrerlessnya dan membuat Nikon serta Canon jadi ketargetir. Ini menunjukkan bahwa keberanian untuk terus berinovasi meskipun harus berhadapan dengan pemain besar yang sudah lama mendominasi pasar bisa menjadi kunci sukses. Sony fokus pada mengembangkan sensor dan ekosistem lensanya sendiri, dan akhirnya berhasil menggeser dominasi para pemain utama.

Ketiga, disrupsi kerap kali datang dari luar industri kita. Kehadiran smartphone dengan fotografi kompusional dari pemain seperti Apple dan Google membuktikan bahwa disrupsi tidak selalu datang dari dalam industri teknologi seperti AI di kamera smartphone membuat siapa saja bisa menghasilkan foto berkualitas tinggi tanpa perlu repot dengan kamera profesional. Ini jadi pelajaran bahwa kita harus selalu siap dengan kemungkinan disrupsi dari luar dan jangan sampai terlena dengan status quo kalau tidak ingin tersingkirkan, mari kita jadikan kisah evolusi dan persaingan di industri fotografi ini sebagai pengingat untuk selalu siap beradaptasi dan terus berinovasi apapun industri tempat kita berkarya. Karena hanya dengan begitu, kita bisa tetap relevan dan bertahan di tengah arus perubahan yang tidak terelakkan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama