Industri media tradisional khususnya koran cetak mungkin sudah hampir mati, tapi tidak dengan The New York Time. Setelah gagal berkali-kali melakukan transformasi, akhirnya media cetak legendaris asal Amerika Serikat itu bukan hanya selamat, namun berjaya di era digital saat ini. Sementara itu, para pesaingnya mulai berguguran satu persatu. Apa yang mereka lakukan berbeda, apa strategi dan inovasinya? Seperti? Apa proses transformasinya?
Daftar isi
BAB I | Dilema Jurnalisme Berkualitas
Sebagian kita pasti mengenal The
New York Times karena koran yang terbit sejak tahun 1851 itu terkenal
reputasinya sebagai pelopor jurnalisme berkualitas.
New York Times jadi tersohor
ketika menjadi koran pertama yang mengabarkan tenggelamnya Titanic pada tahun 1912,
kemudian meraih Plitzer Price pada tahun 1818, setelah mempublikasikan teks,
pidato dan dokumen rahasia Perang Dunia Pertama, reputasi New Yok Time sebagai
koran acuan pertama untuk berita-berita berkualitas terus menguat, sehingga
selama beberapa dekade New Times menjadi pilihan utama buat mereka yang haus
informasi global. Reputasi New York Times yang sangat positif itu berasal dari
tradisi liputan yang komprehensif, investigasi yang mendalam, serta narasi yang
memikat sehingga bisa menghasilkan karya jurnatik yang utuh, akurat, dan
kredibel.
Lalu di tahun 2000an sebuah era
baru lahir ketika media digital menguat dan perlahan-lahan meminggirkan peran
media cetak sebagai media informasi utama dengan internet. Media sosial seperti
Facebook, Twitter, serta berbagai plaform media digital muncul menjadi sumber
utama informasi dan berbagai berita. Orang-orang di berbagai belahan dunia termasuk
kita, punya kebiasaan baru untuk update berita. Kita tidak lagi menunggu koran
pagi, melainkan cukup mengakses media digital saja.
Perubahan itu sekaligus mengubur
iklan-iklan media cetak karena iklan digital dipandang lebih efektif.
Pemanfaatan teknologi seperti programmatic buying membuat pengiklan bisa
membidik audience lebih akurat dengan biaya yang lebih rendah. Pesatnya
pertumbuhan media digital membuat New York Times bersama koran-koan lain di
seluruh dunia menjadi limbong. Bahkan ga sedikit ko-ko besar yang kemudian
menyerah dan hilang dari percampuran bisnis. Media.
New York Time sadar bahwa mereka
harus segera beradaptasi dengan situasi baru masalahnya, adaptasi bukan perkara
sederhana yang mudah dilakukan. Mereka harus mengubah model bisnis yang sudah
dijalani selama berpuluh-puluh tahun sambil mengubah produk cetak menjadi
produk digital. Mereka juga menyadari bahwa pembaca sekarang memerlukan berita
yang lebih lengkap daripada berita yang ada di situs web. Akibatnya, para
jurnalis dan redaktur dituntut menyediakan berita yang tidak hanya cepat, tapi
juga akurat. Sayangnya New York Times belum punya strategi dan teknologi
digital yang memadai untuk memenuhi tuntutan seperti itu. Sebab, pengembangan
aplikasi dan produk digital memerlukan investasi yang besar.
Diluar sana media digital natif
seperti BuzzFeed dan Hafpus semakin banyak bermunculan. Mereka memanfaatkan
kekuatan internet dan media sosial untuk menyampaikan berita dengan cara yang
inovatif. BuzzFeed terkenal dengan konten viral dan iklan natif yang efektif,
sedangkan Haf Post menggabungkan jurnalisme tradisional dengan kontribusi para
blogger Independent. Di pihak lain. Facebook, Twitter, dan Instagram semakin
kuat berperan sebagai sumber berita bagi generasi muda. Dengan cepat mereka
bisa menyuguhkan konten yang mudah dicerna dan seringkali viral sehingga lebih
menarik buat anak-anak muda.
Padahal anak-anak muda adalah
para calon pembaca Newrk Times di masa depan, nah semua itu membuat New York
Times dikejar waktu untuk segera membangun platform digital supaya bisa
menyaingi inovasi-inovasi perusahaan teknologi. Ketika tuntutan adaptasi
semakin kuat. New Yok Times menghadapi Dima besar, di satu sisi mereka masih
bergantung pada pendapatan iklan dan layanan koran, walaupun pelanggan koran
sudah berkurang dan kue iklan cetak terus menciut. Nah, di sisi lain, transisi
yang dilakukan dengan menggarap media digital berisiko besar karena pendapatan
iklannya sedikit dan investasinya tidak sedikit. Apalagi perusahaan teknologi
besar seperti Google dan Facebook sudah menguasai banyak dari kue iklan yang
ada.
Sementara itu para eksetive New
York Times khawatir integritas jurnalistik akan terkikis akibat berkembangnya
media digital. Mereka paham tidak sedikit media digital yang hanya bermodal
engagement dan konten sensasional atau bahkan clickback.
Kalau sampai ikutan memakai modal
seperti itu. Jelas reputasi mereka sebagai sumber berita terpercaya akan rusak,
situasi dilemati seperti itulah yang membuat New York Timmes terpojok. Lalu,
bagaimana cara New York Timmes keluar dari situasi itu?
BAB II | Empat Aksi Strategis
Ada 4 aksi strategis yang
dilakukan New York Times dalam tranformasi digitalnya. Aksi yang pertama,
mereka meluncurkan situs web pertama New York Times pada tahun 1996.
Para pembaca bisa mengakses
konten secara gratis dengan cukup mendaftar dengan data yang lengkap. Data para
pembaca itulah yang bisa diandakan untuk meraih iklan. Sayangnya, cara itu
sekedar memindahkan konten fisik ke format digital sehingga susah menyanyi,
apalagi menghalangi kebangkitan mi di digital murni, seperti hafvst dan BuzzFeed.
Mereka sudah menerapkan strategi
digital yang lebih canggih dan berhasil menarik perhatian pengguna dengan
konten yang lebih menarik. Nah, setelah menyadari kekurangannya, barulah New
York Times melakukan transformasi digital menyeluruh sekaligus menargetkan
kenaikan jumlah pelanggannya. Ceo New York Times Mark Thompson mengatakan,
seperti apa rupa dari sepuluh juta pelanggan? Kenapa nggak lebih dua puluh tiga
puluh juta? Tapi para ekskrive senior malah mentertawakan dan meremehkan
transformasi digital sambil mengatakan, nggak mungkinlah karena di masa jaya
dulu aja kita nggak pernah mencapai jumlah sebanyak itu.
Untungnya transformasi menyeluruh
tetap dilaksanakan. Setelah menempatkan New York Times Dot com sebagai
perpanjangan unit surat kabar, mereka melakukan investasi besar-besaran dengan
meluncurkan entitas baru seperti New York Times Digital pada tahun 1999. Times
Reader pada tahun 2006. Paywall pada tahun 2011, dan Beta pada tahun 2013.
Ketika transformasi digital sedang berlangsung, tiba-tiba pendapatan iklan
digital menurun.
Mereka jadi sibuk mencari solusi.
Sebagian berpendapat solusinya adalah memindahkan iklan cetak ke iklan digital.
Tapi sang CEO nggak setuju dan mengusulkan modal berlangganan karena dia yakin
orang-orang akan tetap mau membayar kalau berita yang disajikan berkualitas.
Bukan berita yang ditulis singkat dan dangkal, melainkan utuh serta bernas
sebagai sebuah berita premium.
Aksi yang kedua adalah merombak
struktur perusahaan menjadi lebih ejab. Dimulai pada tahun 2015 ketika mereka
membahas masa depan perusahaan dan mencari pemimpin yang bisa cepat beradaptasi
dengan era digital. Mereka juga menetapkan pendapatan digital dua kali lipat
dalam 5 tahun, fokus pada model langganan, dan menjadi bagian dari rutinitas
harian pembaca. Sementara itu, pada tahun 2018. Pemimpin Redaksi Din Baques dan
CEO Meredith Kopit Levien Reorgonisasi TIM. Dia mengubah struktur New Times
yang berbasis cylo menjadi bersttruktur matriks. Para pemimpin TIM diberi
kekuasaan penuh dalam membuat keputusan berdasarkan data dan hasil pengujian.
Selain itu mereka menggabungkan
data audience, ergonomi, dan integrasi media ke dalam proyek digital yang
kompleks, seperti aplikasi smartphone New Times. Proses ini membutuhkan
perubahan budaya kerja yang signifikan, berubah dari model berbasis cylow ke
model yang lebih terintegrasi dan kolaboratif.
Aksi yang ketiga adalah
memanfaatkan data pelanggan dengan memodernisasi lingkungan data serta
meningkatkan kecanggihan analitik. Dengan cara itu, mereka bisa lebih memahami
perilaku pembaca dan membuat mereka bisa mengajak pembaca berlangganan.
Berkat kerjasama yang produktif
antara tim data, teknologi dan pendapat konsumen, akhirnya New York Times tidak
hanya meningkatkan kontrol dan otonomi bagi tim pemasaran, tetapi juga
memberikan pengalaman bermakna bagi setiap pembaca, sehingga pembaca kepincut
untuk berlangganan.
Sebetulnya pendekatan berbasis
data sudah menjadi standar bagi para perusahaan digital seperti Google dan
Amazon. Tapi buat perusahaan media pra digital, penerapan strategi itu masih
dianggap rumit dan memerlukan investasi besar. Untungnya. New York Times
berhasil melakukannya dengan baik. Aksi yang keempat adalah menerapkan metode
EJAL untuk mengembangkan produk-produk inovatif. Dalam hal ini. BETA sebagai
grup inkubator internal berhasil mendorong lahirnya produk-produk sukses
seperti aplikasi cooking dan crossword.
Dean Baquet yang menjabat editor eksekutif
sejak 2014 mendukung eksperimentasi ala Beta sehingga dia mendorong New York
Times bermitra dengan Facebook untuk Facebook Life juga meluncurkan produk di
berbagai plaform, termasuk video 360 VR dan Snapchat Discover. Salah satu
eksperimentasi yang berhasil adalah podcast berita The Daily karena bisa meraih
lebih dari 40 juta unduhan dalam 3 bulan pertama.
Sedangkan aplikasi Opini Mandiri
dan New York Times Now, meskipun tutorialnya berkualitas, tapi ternyata secara
bisnis gagal. Nah, kegagalan itu justru membuat Mi Time sadar bahwa kekuatan
mereka terletak pada Budel Produk, bukan pada elemen-elemen yang terpisah.
Jadi, aspek-aspek inovatif dari aplikasi New Times Now tetap dimanfaatkan
dengan cara diintegrasikan ke dalam aplikasi utama New Yok Times.
Dengan pendekatan AJA dan
keberanian bereksperimentasi seperti itu. New York Times berhasil menemukan
cara untuk terus berinovasi dan tetap relevan di tengah perubahan dunia
Jurnalistik.
BAB III | Dampak Transformasi Digital
Secara perlahan transformasi
digital New York Times membuahkan hasil karena pada tahun 2017 pelanggan
berbayar New York Times mencapai 3 juta. Ini pencapaian luar biasa sebab tidak
ada penerbit lain di Amerika Serikat yang memiliki pelanggan sebanyak itu, apalagi
setahun kemudian jumlahnya melonjak jadi 4 juta lebih.
Pada tahun 2019 New York Times
bisa meluaskan bisnisnya ke dunia televisi. Mereka meluncurkan program-program
menarik seperti The Weekly di FX dan Hulu diagnosis di Netflix, dan Modern Love
di Amazon Prime. Langkah ini membuat New York Times mampu menjakau audience
yang lebih luas. Nggak heran kalau di tahun 2019 mereka sudah punya lima koma
tujuh pelanggan. Sekarang pembacabayar Newk Times sudah mencapai 6,5 juta dan
akan terus melaju menuju target ambisius mereka yaitu 10 juta pelanggan pada
tahun 2025.
Seiring dengan itu, pendapatan
tahunan dari langganan digital sudah mencapai lebih dari 450 juta US dollar.
Sumber pendapatan utama mereka bukan lagi iklan cetak dan digital. Sebab, sejak
diperkenalkannya Meterd Pay Wall pada tahun dua ribu sebelas, pendapatan dari
langganan digital mulai tumbuh secara pesat. Pada tahun 2022, langganan digital
berkontribusi sebesar 42 persen. Sementara iklan hanya kontribusinya 23 persen,
langganan cetak 25 persen, dan sumber bapatan lain termasuk acara dan produk
digital berkontribusi 10 persen. Catatan ini memperlihatkan keberhasilan New York
Times menyelamatkan diri di tengah gelombang digital yang membuat banyak media
cetak lain menghilang.
BAB IV | Kondisi Media Tanah Air
Apa yang terjadi pada New York
Time sangat relevan dengan kondisi media cetak Tanah Air yang memprihatinkan.
Data serikat perusahaan pers menyebutkan bahwa pada tahun 2021, masih ada 593
perusahaan pers yang bertahan. Namun, memasuki tahun 2022, jumlahnya sudah menciut
menjadi tinggal 399 perusahaan.
Penyebab utamanya adalah
menyusutnya kue iklan cetak setelah Google dan Facebook menguasai 75 sampai 80
persen total belanja iklan nasional. Kesulitan itu diperburuk oleh pandemi
covid-19 sehingga belanja iklan turun drastis dan omset media cetak anjlok
lebih dari 40 persen. Belum lagi tuntutan untuk beradaptasi dengan model bisnis
baru dan bersaing dengan paform digital global yang itu jelas butuh modal.
Namun demikian, sebagian
perusahaan percetak nasional sudah bertranformasi menjadi media online untuk
mempertahankan kualitas jurnatiknya. Mereka memisahkan konten di platform yang
berbeda. Misalnya Tempo yang mempertahankan majalahnya sambil membangun kanal
online Tempo.co. Sedangkan Kompas menempatkan konten koran cetak di Kompas. Id
dan berita online di kompascom.
Sebagian besar pers nasional
sudah menggunakan model subscription untuk konten berita eksklusif dan
mendalam. Sementara itu, untuk berita yang sifatnya ringan, cepat, dan relatif,
clickbate dipisahkan di platform tersendiri.
BAB V | Jalan Berani Transformasi
Sukses New York Times bertranformasi
di era digital sedikit banyak bisa jadi cermin. Mereka memberikan contoh
tentang bagaimana menghadapi perubahan dengan strategi yang cerdas dan unik,
serta bagaimana mengubah tantangan menjadi peluang besar. Transformasi digital
tidak dilakukan hanya dengan sekedar memindahkan konten cetak ke digital,
tetapi juga menawarkan konten premium yang layak dibayar. Cara ini masih jarang
dilakukan walaupun terbukti berhasil karena sajian berita berkualitas tetap
dihargai. New York Times telah merombak struktur perusahaan supaya lebih
adaptif dan kolaboratif, serta memastikan setiap keputusan didukung oleh data
yang akurat. Dengan mengadopsi metode ejal, mereka bisa mengembangkan produk
baru yang sesuai kebutuhan pasar. Dengan cara itulah lahir produk-produk inovatif
seperti podcast, the daily, dan aplikasi Cooking.
New York Times juga berani
bereksperimen dengan format dan platform baru serta terus berinovasi agar
setiap langkah bisa memberi nilai tambah bagi para pembaca.
Terakhir New York Times
mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada perubahan, yang perlu diutamakan bukan
hanya soal bertahan, tetapi keberanian berinovasi dengan strategi yang matang.
Perubahan jangan dilawan, tapi justru ditunggangi dan berjayalah di atasnya, tapi
ingat semua itu harus dilakukan secara bijaksana dan hati-hati. Sebab, setiap
transformasitetap membutuhkan integritas dan komitmen terhadap kualitas.