Google memecat lebih dari 50 karyawan yang ikut serta dalam protes terhadap kontrak Google dengan pemerintah Israel yang bernama Project Nimbus. Kenapa karyawan Google protes? Apa itu Project Nimbus? Dan kenapa Google menjadi tantrum ketika membela Project Nimbus mati-matian,? yuk kita cari tau.
Daftar isi
BAB I | Apa Itu Project Nimbus
Protes karyawan Google bermula
dari Project Nimbus, yaitu kontrak komputasi awan yang kontroversial antara
Google, Amazon, dan pemerintah Israel dengan nilai 1,2 Miliyar US Dollar. Dalam
kontrak itu disepakati Google dan Amazon menyediakan layanan cloud dan teknologi
AI yang canggih kepada Israel, termasuk untuk kepentingan militer dan
serveilance.
Untuk itu Google dikabarkan
mendirikan server Google Cloud yang aman di Israel. Sehingga pemerintah Israel memungkinkan
melakukan analisis data dalam skala besar, pelatihan AI dan juga hosting
database dengan teknologi Google. Detail kontrak ini jarang diungkap di media
sehingga banyak pekerja yang frustasi karena mereka enggak diberitahu. Yang
pertama kali mengungkap dokumen kerjasama ini pada 2022 adalah intersep. Disitu
diketahui bahwa layanan Google tersebut meliputi deteksi wajah berbasis AI,
pengkategorian gambar otomatis dan pelacakan objek.
Dua pekerja Google Main khawatir
dengan kemampuan lab untuk tujuan militer, padahal di tahun 2014 ketika di DeepMind
di akuisisi Google, mereka sempat menandatangani perjanjian bahwa teknologi
mereka tidak akan digunakan untuk militer atau pengawasan. Namun berbagai
perubahan membuat Deep mine kini mengikuti prinsip AI Google yang
menandatangani kontrak militer yang menguntungkan, termasuk dengan Pentagon dan
Israel. Seorang karyawan DeepMind yang dirahasiakan namanya mengatakan. “Walaupun
di DeepMind dulu tidak suka bekerja pada AI militer atau kontrak pertahanan,
sekarang keputusan itu bukan lagi ada ditangan mereka.”
BAB II | Nimbus Menuai Protes
Banyak karyawan Google
berpendapat bahwa teknologi hasil Project nimbus ini bisa digunakan untuk
menargetkan dan mengawasi warga Palestina sehingga berkontribusi pada
pelanggaran hak asasi manusia. Pandangan itulah yang memicu protes dan
ketidaksetujuan karyawan yang bergabung di bawah gerakan seperti No Tech For Israel’s
Apartheid.
Ratusan karyawan Google dan
Amazon mengungkapkan keberatan dengan menandatangani petisi dan demonstrasi di
luar kantor Google di berbagai kota, seperti New York. Sanfrasisco, dan Seatto.
Gerakan itu diikuti lebih dari 200 karyawan Google dan konon ada ratusan lagi
karyawan lain yang mendukung. Dari wawancara majalah Time, terungkap, banyak
karyawan yang ikut dalam gerakan ini kecewa pada Google karena membantu Israel
dalam konflik di Gaza. Eddie Hatfield, insinyur perangkat lunak di Google
Cloud, berperan penting dalam protes tersebut. Setelah terbuka, dia menentang
keterlibatan Google dalam proyek tersebut. Puncak protesnya terjadi ketika ia
berdiri di sebuah konfesi Main the Tef di New York dan menyatakan penolakannya
untuk mengembangkan teknologi yang bisa digunakan untuk genosida apartheid atau
pengawasan.
Kekhawatiran karyawan Google
muncul pertama-tama gara-gara Kementerian Keuangan Israel secara jelas
menyatakan pada tahun 2021 bahwa Nimbus akan digunakan oleh Kementerian
Pertahanan. Yang kedua, layanan yang mungkin diberikan Google kepada pemerintah
Israel, dan ketiga Google tampaknya tidak mampu mengawasi penggunaan
teknologinya oleh Israel. Belakangan, media Israel melaporkan bahwa serangan
udara memang didukung oleh sistem AI penarget yang membuat jengkel para pekerja
adalah karena alasan keamanan. Mereka jadi seringkali tidak tahu banyak tentang
apa yang terjadi di server cloud pemerintah. Jackie Kay insinyur peneliti di
lab AI Deep Mind Google mengatakan. “Kami tidak banyak mengawasi apa yang
dilakukan pelanggan cloud, karena alasan privasi yang jelas, sehingga bagaimana
kami bisa yakin bahwa teknologi ini tidak disalahgunakan untuk tujuan militer.?”
Key, karyawan lain didiepminne
mengatakan. “Saya ingin ada mekanisme akuntabilitas dimana penggunaan bisa
dicabut. Misalnya jika teknologi tersebut digunakan untuk pengawasan atau
tujuan militer yang melanggar norma internasional.” Sedangkan Gabriel Schubiner,
mantan peneliti Google menilai “Menyerahkan teknologi canggih ke tangan
institusi yang ingin menyalahgunakan AI dalam perang sangat tidak etis. Ini
seperti mengkhianati para insinyur yang mengembangkan Google Cloud.” Lalu
anggota gerakan No Tech for Apartheid percaya bahwa sangat tidak mungkin Israel
tidak menggunakan teknologi Google untuk tindakan kekerasan.
BAB III | Google Pecat Karyawan
Merespon protes karyawannya,
google dilaporkan telah memecat 20 karyawan lagi setelah mereka protes di kantor
Sanifel dan New York pada tanggal 16 April. Pada sebelumnya, perusahaan itu
telah memecat 28 orang yang ikut demo, salah satunya adalah Hatfiels. Dia
dipanggil manajernya dan perwakilan ECHR. Di situ dia diberitahu bahwa aksinya
telah merusak cita publik perusahaan dan melanggar kebijakan Google, tindakan
itu dibenarkan seorang juru bicara Google kepada Forps, dia menegaskan bahwa
setiap orang yang dipecat memang terlibat langsung dalam aktivitas yang
mengganggu dan sudah mereka pastikan dengan teliti. Dia mengatakan,
penyelidikan kami terhadap peristiwa ini sudah selesai.
Pemecatan terbaru ini terjadi
hanya beberapa hari setelah CEO Google Sundar Picha yang membahas kegaduhan
ini. Picha mengingatkan bahwa Google adalah sebuah tempat kerja dengan aturan
yang jelas. Dia mengatakan, “ini adalah bisnis, bukan tempat bertingkah yang
mengganggu rekan kerja atau membuat mereka merasa tidak aman. Bukan tempat
untuk memanfaatkan perusahaan sebagai panggung pribadi atau untuk bertengkar
mengenai isu kontrofersial atau politik.”
Picha lalu mengajak para karyawan
fokus pada misi perusahaan di saat-saat penting ini dengan mengatakan, ketika
kita datang bekerja, tujuan kita adalah mengatur informasi dunia agar mudah
diakses dan bermanfaat. Itu yang paling utama dan saya mengharapkan kita semua
bertindak dengan fokus yang mencerminkan hal itu. Jane Chung, juru bicara No
Pach for Aparthaid, menyebutkan bahwa karyawan yang dipecat menjadi lebih dari 50
orang. Menurutnya, diantara yang dipecat ada juga yang sebenarnya hanya
penonton. Kepada Washington Post, dia mengatakan bahwa tindakan Google ini
merupakan upaya menekan perbedaan pendapat, membungkam karyawan, dan memperkuat
kontrol atas mereka.
Akhirnya banyak pekerja yang
takut dan enggan bicara terbuka tentang proyek nimbus atau mendukung Palestina.
Khalek yang mengundurkan diri sebagai bentuk protes mengungkapkan, banyak yang
menentang tapi takut kehilangan pekerjaan atau dibalas. Dia menyatakan,
pemecatan Hatfield adalah bentuk balasan yang jelas. Namun juru bicara Google
membantah bahwa pemecatan tersebut adalah tindakan balasan.
Dengan terus munculnya fakta baru
tentang peran AI dalam serangan bom Israel di Gaza, pembunuhan pekerja bantuan
asing oleh militer Israel, dan desakan Presiden Biden agar Israel segera
menghentikan kekerasan. Kampanye No Tech For Apharteid semakin menguat.
Sekarang ketika kerusakan Gaza
semakin jelas, banyak pekerja melihat pemecatan Hatfield sebagai cara meredam
ancaman terhadap bisnis. Hatfield mengatakan “Saya rasa Google memecat saya
karena mereka melihat gerakan ini mendapat banyak dukungan dan mereka ingin
menimbulkan efek menakutkan dengan memecat saya untuk menjadikan saya sebagai
contoh.” Dia memastikan aksinya merupakan puncak dari usaha internal setelah
dia mempertanyakan proyek Nembus, tetapi merasa tidak mendapatkan respon.
BAB IV | Karir Atau Nurani
Pemecatan Hatfield oleh Google
justru menimbulkan kritik dari dalam. Beberapa karyawan lain pun mengundkan
diri sebagai bentuk protes, salah satunya adalah Pidana Abdel Khalek. Di
emailnya, dia menulis. Tidak ada seorangpun yang bergabung dengan Google untuk
bekerja pada teknologi militer yang bersifat ofensif. Pidana menegaskan,
melalui Nimbus, perusahaan Anda membantu pemerintahan ini dan turut andil dalam
kekejaman tersebut.
Pengundduran diri juga dilakukan
beberapa karyawan Google lain, termasuk di Indonesia. Seorang pria asal Jakarta
yang merahasiakan nama lengkapnya merasa lega setelah meninggalkan Google
sebagaimana ceritanya pada kumparan, dia dan istrinya sudah memutuskan berhenti
bekerja di akhir tahun 2023. Keputusan itu didorong oleh peristiwa konflik
digaza dan keterlibatan Google dalam proyek Nimbus. Kira-kira 10 hari setelah
Israel menyerang Gaza, dia dan istrinya berada di Mekkah dan mereka menerima
berita mengenai proyek Nimbus dari seorang kolega di Jakarta. Kejadian itu
sangat mengguncang mereka berdua dan akhirnya mereka memutuskan hengkang dari
Google setelah mereka sebelumnya mencoba mempertanyakan hal itu kepada pimpinan
lokal Google. Namun, jawaban yang diterima semakin menguatkan mereka untuk
mengambil keputusan berat itu.
BAB V | Klarifikasi Google Dan Amazon
Google dan Amazon belum
menjelaskan secara detil kemampuan teknis yang mereka tawarkan dalam kontrak
proyek Nimbus. Juru bicara Google menyatakan. “Kami sudah sangat jelas bahwa
kontrak Nembus hanya untuk operasi yang berjalan di platform komersial kami
yang digunakan oleh berbagai kementerian pemerintah Israel, termasuk keuangan,
kesehatan, fakutasi, dan pendidikan. Kami tidak terlibat dalam proyek militer
yang sensitif atau terklasifikasi yang berkaitan dengan senjata atau layanan
intelijen.”
Semua pelanggan Google Cloud
diwajibkan untuk mematuhi ketentuan layanan dan kebijakan penggunaan yang
berlaku yang melarang penggunaan layanan mereka untuk melanggar hak hukum orang
lain atau terlibat dalam kekerasan yang berpotensi mematikan atau menimbulkan
cedera serius. Sementara itu, juru bicara Amazon menyatakan bahwa mereka
berkomitmen untuk menyediakan teknologi Cloud terdepan untuk semua pelanggan,
tidak terbatas dimana lokasi mereka. Perusahaan juga mendukung karyawan yang
terkena dampak perang dan bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan. Pemerintah
Israel sendiri belum memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar tentang
hal ini.
Penutup
Dalam bayang-bayang Project
Nimbus, teknologi canggih Google telah terbukti sebagai pedang bermata dua. Di
satu sisi, inovasi ini mendukung kemajuan digital yang luas, tetapi di sisi
lain kekuatannya bisa disalahgunakan untuk kepentingan militer dan pengawasan
yang kontroversial. Google bersama dengan Amazon telah mendatangani kontrak
miliran dolar dengan Israel, yang memungkinkan pemerintah tersebut mengakses
berbagai teknologi AI canggih, termasuk deteksi wajah dan pelacakan objek.
Pemanfaatan teknologi ini oleh Israel menimbulkan kekhawatiran serius akan
potensi pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan teknologi untuk tujuan
militer. Itu jelas-jelas berlawanan dengan prinsip etika yang seharusnya
dipertahankan.
Kerentanan etis ini menunjukkan
bahwa Google dan perusahaan-perusahaan teknologi besar lainnya seringkali
mengutamakan keuntungan di atas segalanya. Keputusan mereka untuk meneruskan
project ini tanpa pengawasan yang ketat atas penggunaan teknologinya memicu
protes besar-besaran di dalam perusahaan. Para karyawan yang berani
mempertaruhkan karir mereka dengan menunjukkan keberanian dan integritas yang
tinggi untuk mampu berdiri teguh melawan apa yang mereka anggap sebagai
keterlibatan dalam tindakan yang tidak etis. Gerakan protes yang terjadi bukan
hanya sekedar unjuk rasa, tetapi adalah bentuk perlawanan terhadap apa yang
mereka anggap sebagai perluasan mental apharteid yang diterapkan oleh koporasi
besar dalam pengejaran profit.
Kegigihan para karyawan ini
menandakan adanya kekuatan moral di dalam hati para pekerja teknologi,
demonstrasi, petisi, dan bahkan penguduran diri mereka mengirimkan pesan yang
kuat kepada dunia bahwa etika tidak boleh dikorbankan untuk keuntungan.
Namun respons Google terhadap aksi ini dengan memecat karyawan yang berpartisipasi dalam protes merupakan sebuah ironi yang menyedihkan. Menjadi terang bahwa kekuasaan seringkali dibatasi oleh kepentingan komersial, bukan kepentingan kemanusiaan. Mari bersama-sama menolak penggunaan teknologi canggih untuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Terinspirasi dari perlawanan para karyawan Google, mari kita berani mengambil sikap dan memperjuangkan penggunaan teknologi yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, Jangan biarkan nafsu serakah pada profit melanggengkan mental aphartheid.
Dr. Indrawan Nugroho