Perang Dingin Teknologi Chip

Perkembangan teknologi semikonduktor telah memicu perang dingin. Teknologi yang terlibat bukan hanya perusahaanperdusaan chip, melainkan juga negara-negara maju. Mereka bergerak cepat untuk melindungi kepentingan negaranya dan berupaya mati-matian untuk jadi penguasa teknologi chip. Karena memang pemenang dari perang teknologi ini akan mampu menentukan arah politik global masa depan. Tapi mungkinkah sebuah negara satu negara bisa menguasai teknologi ini sendirian? Kalau bisa, negara yang mana? dan gimana caranya? Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia? Apa yang bisa kita lakukan? Yuk, kita cari tahu.


Persaingan Sengit Produsen Chip

Saat ini sedang berlangsung pertarungan seru antara produsen produsen chip semikonduktor, mereka sedang beradu hebat dalam berinovasi, berlari cepat dalam meningkatkan kapasitas produksi, dan beradu strategi dalam mengelola bisnis. Mereka bergulat ketat supaya bisa merajai pasar chip yang memang sangat menggiurkan. Intel, Samsung Electronics, Qualcomm, Micron Technology, SK Hnix, dan Nvidia terlibat dalam pertarungan tersebut. Sebagai pemimpin tenologi chip komputer dan server. Intel sedang berlari mengejar ketertinggalan di pasar chip data center dan AI.

Mereka mengegelonturkan dana besar-besaran dalam penelitian dan manufaktur chip untuk bisa menyanyi NVIDIA dan AMD. Kemudian kita lihat Samsung Electronics, produsen utama chip memory itu sedang melebarkan langkah menjadi cotract chip manifacture supaya bisa bersaing dengan TSMC. Mereka sedang berjuang mempertahankan posisinya sebagai yang terdepan dalam manufaktur resmi kondukktor.

Sehingga mereka gencar berinvestasi sumber daya teknologi canggih seperti EUV Litograppy, di pihak lain ada Qualcom yang juga melebarkan langkahnya ke sektor otomotif dan iot. Qualcom yang terkenal dengan inovasi chip modem seluler menciptakan ekosistem terpadu yang luas dan terus meningkatkan kapasitasnya dalam AI dan edge computing untuk memenuhi permintaan pasar yang beragam.

Sedangkan Micron Technology dan SK Hhnix sedang berfokus pada produksi chip memory di rem dan nan flash. Keduanya bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan dan kecepatan sambil menurunkan biaya produksi. Sementara itu, Nvidia terus mengembangkan kemampuan AI dan Machine learning. Baru-baru ini, mereka meluncurkan Be two hungrit Black Well. Chip AI terbaru yang diklaim sebagai Chip paling canggih. Chip ini dirancang untuk mampu meningkatkan daya komputasi dan melakukan tugas tertentu tiga puluh kali lebih cepat. Nvidia juga akan meluncurkan chip EGE 200 di kuartal kedua tahun ini, Chip ini dirancang khusus untuk meningkatkan performa AI generatif.

Selain bersaing, sebetulnya mereka juga saling bermitra. Intel dan Qualcom misalnya, mereka sering berkolaborasi dengan pihak lain untuk memasarkan chipset mereka ke berbagai sektor. Sedangkan Nvidia mengakuisisi ARM untuk memperluas jangkauannya di pasar chip seluler dan IOT.

Pusaran Pertarungan Chip Dunia

Persaingan menguasai teknologi CHIP semikonduktor sebetulnya tidak hanya terjadi di area bisnis karena persaingan serupa sudah meluas ke ranah politik. Amerika dan China beserta negara-negara besar lain sudah saling mengungguli satu sama lain dalam kemajuan teknologi ini, bahkan saling memproteksi sumber daya yang mereka miliki masing-masing. Di era digital sekarang, chip memang sudah menjadi simbol kemajuan, kehebatan, dan kekuatan sebuah negara. Oleh karena itu, negara-negara tersebut melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kemampuan teknologinya dan menguatkan daya cengkram mereka terhadap penguasaan teknologi chip.

Amerika Serikat baru-baru ini mendirikan CHIPS. CPS dan Sains X 2022 yang ditujukan untuk menghidupkan kembali kemampuan manufaktur SE ke dokternya dan memperkuat rantai pasokan. Tapi yang paling penting adalah untuk menyiasati kebangkitan teknologi China.

Amerika Serikat berusaha mengamputasi kemampuan China dalam memproduksi sirkuit terintegrasi canggih dengan cara mengontrol ekspor chip dan teknologi pembuatannya. Namun, tentu aja China ga akan tinggal diam. Mereka mengontrol pemanfaatan galium dan germanium, yang ga lain adalah material esensial dalam pembuatan sebuah chip. China juga meningkatkan kemandirian mereka dalam menguasai teknologi semi konduktor. Nah, ketika kedua negara adidaya itu berseteru. Eropa juga nggak mau terjebak, komisi Eropa pun menerbitkan EU Chips e yang ditujukan untuk meningkatkan investasi substansial dalam ekosistem semi ke dokter EU dan memperkuat kemitraan internasional. Uni Eropa berusaha memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam geopolitik global semi ke dokter dengan lebih terbuka terhadap kerjasama internasional.

Sikap seperti itu bisa kita pahami ya karena Eropa masih banyak bergantung pada produsen semikonduktor asing, terutama produsen di Asia. Ketergantungan itu bisa dilihat dari krisis pasukan chip yang saat pandemi kemarin sangat mempengaruhi kinerja industri otomotif mereka.

Di Asia, selain China, ada Taiwan dan Korea Selatan yang terseret dalam pusaran pertarungan itu. Taiwan telah memproduksi kurang lebih 90 persen chip canggih dunia. Ini yang membuat situasi geopolitik di kawasan itu jadi rawan karena industri semi konduktor Taiwan begitu krusial bagi landscape ekonomi dan keamanan global.

Taiwan menjadi pemain utama teknologi semi konduktor sejak pemerintahnya mendirikan TSMC di tahun 1987 melalui Industrial Teknologi Research institute.

TSMC menjawab kebutuhan designer chip yang memerlukan fasilitas produksi dan tumbuh menjadi pusat fabrikasi semi ke dokter terkemuka yang menarik banyak klien internasional. Sedangkan Korea Selatan masuk dalam pusaran sejak Samsung berkembang menjadi produsen semi ke dokter pada tahun 1983 berkat dukungan penuh pemerintahnya, investasi masif dalam penelitian dan pengembangan, serta perhatian pada mutu Samsung merajai pasar global sebagai pembuat chip memori No. Satu.


Perang Dingin Teknologi Di Mulai

Negara memiliki kepentingan untuk menguasai teknologi, fakta sejarah menunjukkan bahwa inovasi teknologi adalah katalis perubahan sosial, dan geopolitik. Penemuan mesin cetak oleh Yohanes Gottenberg pada abad ke-15, misalnya, mesin cetak tidak hanya merevolusi cara manusia menyebarkan pengetahuan, melainkan juga memicu terjadinya Reformasi Protestan yang kemudian mengubah struktur kekuasaan yang ada di benua Eropa.

Kemudian pengembangan dan penggunaan energi nuklir yang terjadi selama dan setelah Perang Dunia II. Teknologi nuklir telah mengubah peta kekuatan militer global serta mendorong lahirnya perlombaan senjata nuklir dan Perang Dingin antar kekuasaan atau kekuatan negara-negara superpower. Untungnya, persaingan teknologi sekarang tidak sempat berujung pada konflik fisik. Pertempuran untuk saling menundukkan hanya berlangsung di laboratoum riset, ruang desain chip, dan lini produksi pabrik semi konduktor. Menurut Klaus Schweb, pendiri dan Presiden ekskutive Forum Ekonomi Dunia, “Di dalam Revolusi Industri Keempat, teknologi digital, fisik, dan bio teknologi telah berkonvergen.

Inovasi seperti Internet of Things atau IOT kecerdasan buatan atau AI robotic nano tenologi. Bioteknologi, energi terbarukan dan penyimpanan energi telah bertransformasi menjadi kekuatan yang menggerakkan ekonomi global dan semi konduktor adalah otak dan pusat saraf dari hampir semua teknologi canggih tersebut”.

Dalam artikel The Cold Tech Race yang ditulis VPaul Verhagen yang dipaparkan tentang “munculnya kembali persaingan antara negara adidaya, terutama antara Amerika Serikat dan China. Bahkan semua negara maju sedang berusaha mendominasi teknologi semi kekter dan AI. Karena teknologi itu bukan cuma penting untuk kekuatan militer, melainkan juga untuk kemajuan ekonomi dan inovasi.” Sejarah mencatat kembali bahwa teknologi telah menjadi instrumen penting dalam perkembangan geopolitik. Jadi, negara manapun yang sekarang mampu menguasai produksi dan inovasi semi konduktor dan AI, maka dialah penentu arah politik global masa depan.

Mengapa Chip Begitu Penting?

Sebegitu strategiskah teknologi semikonduktor sampai negara-negara besar dan raksasa teknologi berambisi menguasai teknologi dan pasar chip, jelas Ya, karena chip merupakan otak dan jantung dari hampir setiap perangkat elektronik canggih, mulai dari roket hingga kulkas yang semakin pintar. Itulah sebab mengapa chip sangat penting bagi sebuah negara dan menjadi objek yang diperebutkan.

Kita mengenal ada dua jenis chip yaitu chip memori dan chip logika. Chip memori berfungsi untuk menyimpan data bersifat sederhana dan diperdagangkan layaknya komoditas. Sedangkan chip logika adalah otak perangkat yang menjalankan program bersifat lebih kompleks dan harganya juga lebih mahal.

Nah, selama kurang lebih 2 tahun chip itu sangat langka karena rantai pasoknya terhambat waktu pandemi covid 19. Nah, ketika pandemi usai, permintaan terhadap ponsel dan komputer personal mulai mereda. Situasi jadi semakin rumit dan para produsta menghadapi dilema baru. Di satu pihak, ada kelebihan pasokan chip untuk beberapa segmen. Di pihak yang lain, ada kekurangan pasokan, khususnya untuk industri otomotif.

Nah tingginya kebutuhan dan berkurangnya supply sejak pandemi membuat pasar chip begitu menggiurkan. Pada tahun 2019, industri chip secara global bernilai 412 miliar dolar atau sekitar 6.600 triliun rupiah. Pada tahun 2022, nilainya melonjak menjadi 580 miliar dolar atau sekitar 9400 triliun rupiah. Pada tahun 2030 nanti, diperkirakan nilai industri ini akan mencapai triliunan US Dollar.

Kompleksitas Rantai Pasok Global

Dalam konteks saat ini upaya-upaya berbagai negara untuk memproteksi industri semi konduktor dan memperkuat kedaulatan teknologinya sebenarnya agak aneh.

Karena sebuah chip tercipta dari rantai pasokan semi kedakter global yang sangat kompleks dan membuat berbagai negara saling tergantung satu sama lainnya. Usaha seperti mengisolasi produksi chip dalam negeri masing-masing dari pengaruh luar kayaknya nggak gampang untuk dilakukan. Saling ketergantungan itu bisa kita lihat. Misalnya di dalam produksi chip yang dilakukan ARM Group ini adalah produsen chip yang berbasis di Inggris, tetapi dimiliki investor Jepang. Sedangkan tim engineernya berasal dari California dan Israel. Mereka bekerja menggunakan software design dari Amerika Serikat, yang hasilnya kemudian dikirim ke Taiwan. Ketika Taiwan memprosesnya di sebuah fasitas produksi, mereka menggunakan wafer Silecoon, ultra murni dan gas khusus dari Jepang.

Di Taiwan, desain itu kemudian diukir ke dalam silikon menggunakan mesin presisi tinggi yang bisa mengukir, menumpuk, dan mengukur lapisan material setebal beberapa atom. Mesin-mesin tersebut sebagian besar diproduksi di Belanda. Jepang, dan California. Kemudian setelah chipnya jadi ini, mereka dikemas dan diuji, dan itu terjadi seringkali di Asia Tenggara, sebelum akhirnya dikirim ke China untuk dirakit menjadi ponsel atau komputer.

Jadi pada umumnya proses mendesain CHIP dilakukan di Amerika, terus diproduksi di Taiwan atau di Korea Selatan, dan dikemas di China untuk menjadi produk akhir yang siap dibeli konsumen. Tapi lucunya, baik Cina ataupun Amerika Serikat ternyata masih sangat tergantung pada Eropa dalam pembuatan otak elektronik modern ini. Nah, kompleks kan?. Chris Miller, penulis buku Chip War, mengatakan bahwa “Tanpa mesin dari Belanda, pembuatan chip canggih tidak mungkin dilakukan.” Dalam hal ini, perusahaan Belanda SMAL Holding adalah satu-satunya perusahaan yang menyediakan mesin litografisensial untuk membuat semi konduktor kelas atas.

Nah di sini kita melihat bahwasanya proses pembuatan semi ke dokter itu rumit dan membuat banyak negara dan perusahaan global saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu. Niclas Poitiers dari lembaga riset B Google mengatakan. “Kita melihat ada pembagian kerja secara global dengan negara dan ekonomi yang berbeda memainkan peran spesifik dalam rantai nilai.”

Itulah sebabnya mengapa keinginan berbagai negara untuk memproteksi produksi semi konduktor saat ini nyaris percuma dilakukan karena faktanya mereka masih saling tergantung satu sama lainnya.

Indonesia Di Tengah Perang Teknologi

Di tengah gemuruh perang teknologi dimanakah posisi Indonesia yang pasti negeri kita ini masih berada di persimpangan dengan pilihan jalan yang belum pasti. Ada baiknya kita bercermin pada Taiwan dan juga Korea Selatan yang telah berhasil mengintegrasikan industri domestiknya ke dalam jaringan pasokan global semi konduktor mereka sudah menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang cerdas, berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan serta dengan terjadilinnya kerjasama erat antara pemerintah, industri dan institusi pendidikan sebuah negara bisa menjadi kekuatan teknologi global. Kemampuan itu tidak sebatas hanya untuk menghasilkan sebuah komponen, melainkan untuk sebuah harga diri bangsa dan negara. Mereka sudah mampu berkontribusi dan aktif memperkuat kerjasama ekosistem global yang saling terhubung.

Kita sadari bahwa negeri dan bangsa ini memiliki potensi besar untuk bisa menjadi aktor penting dalam ekosistem teknologi global. Untuk itu kita masih segera bergerak yang diawali dengan meningkatkan kapasitas nasional di bidang pendidikan dan riset, terutama dalam sains, teknologi, rekayasa dan matematika atau STEM.

Terjadinya kerjasama kuat antara universitas, industri dan pemerintah akan mempercepat transfer pengetahuan dan aplikasi praktik inovasi. Ekspansi kejaksa internasional juga dapat membuka akses ke teknologi pengetahuan dan pasar-pasar baru. Terciptanya ekosistem yang mendukung inovasi, mulai dari kebijakan pemerintah hingga akses ke modal akan mendorong pertumbuhan startup dan inovasi teknologi domestik. Lalu, kita optimalkan kekayaan sumber daya alam dan manusia agar Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam teknologi masa depan asalkan ada strategi yang tepat dan langkah berani. Saya yakin Indonesia tidak hanya akan mengikuti kemajuan global secara inclemental, tetapi juga membuat lompatan signifikan.

Sudah waktunya kita bertindak mempersiapkan diri dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendorong inovasi dan kemandirian Indonesia dalam kancah teknologi global.

Dr. Indrawan Nugroho


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama